Sandiwara di Hari Kamis


(cerpen remaja)
Beberapa saat yang lalu aku melihatnya berdiri di atas eskalator yang sedang bergerak naik. Aku berdiri di atas lantai basemen, melihat ke arahnya, dan dia juga tiba-tiba menoleh ke arahku. Kami saling tatap. Karena interval waktu saling tatap itu kuanggap cukup lama, maka ingin kuurai senyum, tapi urung karena tanganku sudah ditarik-tarik.

Afikri pasti sudah ngiler berat melihat anak-anak sebayanya pada menenteng es krim dari pojok sana. Rupanya ada produk baru sedang promo, sampai digratiskan ke pengunjung mal. Dan Afikri tahu itu. Bila tidak kuturuti, tanganku bisa terlepas dari engselnya karena terus dia tarik.

Sampai aku masuk ke toko buku mencari edisi art-cover A Time to Kill-nya John Grisham, aku masih memikirkannya, masih mengingat-ingat cantik parasnya. Dan kukira hanya bersela semenit, tiba-tiba ia datang ke dekatku. Yang membuatku bingung, Afikri ada di dalam gendongannya.

Tadi, sebelum masuk ke toko buku ini, Afikri aku bekali sekantung popcorn dan lima keping koin untuk membuat mobil-mobilan yang dinaikinya terus bergerak. Soalnya bocah ini tangannya tidak mau berhenti ikut meraih apa yang dilihatnya. Makanya kubiarkan dia bermain sendiri di counter mainan yang ada di depan toko buku. Lalu, kenapa ada di dalam gendongan cewek ini?

“Kau lihat yang aku pegang?”

Suaranya tidak keras, malah hanya berbisik, tapi membuatku terperanjat. Hampir saja aku yang memekik. Yang ia pegang itu pisau!

“Kalau kau tidak ingin kulit anakmu terluka, ikuti saja apa yang aku perintahkan,” ancamnya lagi. Oh, jadi ini penodongan....

Aku berusaha tetap tenang. Ia cantik, terlihat masih muda, dan sepertinya tidak cocok menjalani profesi sebagai penodong. Apalagi memilih anak-anak sebagai sanderanya!

Makanya aku berkata, “Kalau mau bercanda, jangan sadis begitu, dong. Apalagi kalau cuma minta kenalan....”      

Reaksinya sungguh membuatku makin bingung. Ia menangis, sambil memeluk Afikri dan mencium pipinya. “Jelas aku tidak sampai hati melukaimu, Sayang,” sahutnya untuk Afikri, tapi matanya tersorot kepadaku. “Kecuali bapakmu sampai hati membiarkanmu terluka....”

“Tidak ... eh, tunggu...,” tergagap-gagap aku dibuatnya. “Katakan apa maumu. Perhiasan? Uang? Oh, aku bukan jutawan....”

“Kita perlu deal. Dan aku ingin kau memegang janjimu.”

Kutatap kesungguhan pada paras cantiknya.

“Bantu aku ... tepatnya, tolong aku. Selamatkan aku.”

“Aku sudah bilang, aku tidak punya uang banyak.”

“Siapa bilang aku butuh uang?” Tatapnya kian tajam. “Ayo, berjanjilah mau menolongku, bersedia menyelamatkanku. Tapi ingat: pegang janjimu!”

Sepertinya aku tidak punya pilihan. Dengan bingung aku berjanji, lengkap dengan sumpah sesuai cara yang bisa aku pikirkan saat ini.

Wajahnya langsung semringah. Ia celingak-celinguk, sebelum meletakkan pisaunya. Ternyata pisau yang ia pegang adalah pisau pembuka amplop surat, atau pemotong kertas, tentu ia asal tarik saja dari salah satu rak.

Ia mencium lagi Afikri yang masih di dalam gendongannya. Hampir aku terbahak dan melupakan ketegangan yang sesaat tadi. Aku geli melihat gaya Afikri, begitu senang digendong. Entah, mungkin kakinya memang sudah penat diajak berjalan menjelajahi lantai-lantai mal, atau karena sudah bisa merasakan asyiknya disun cewek cantik....

“Ayo!” tegas suaranya, mengagetkanku.

“Eh, aku belum tahu apa yang harus aku perbuat,” kataku bingung.      

“Rangkul pundakku.”

“Apa?!”

“Tidak usah berteriak begitu. Biasa saja. Kalau kau tegang, aku malah bisa gagal. Bersikaplah semesra mungkin. Perlihatkan kepada semua orang yang melihat kita, bahwa kita sepasang suami-istri, dengan seorang putra gagah dan menggemaskan seperti ini.”
Terus menatap bingung, aku merasa sudah setengah linglung.

“Kau lupa sumpahmu tadi?” cecarnya lagi. “Bila sudah sampai di tempat parkir, atau setelah merasa diriku sudah aman, sandiwara ini selesai. Ambil anakmu, lalu selamat tinggal. Tidak sulit, kan? Kau hanya perlu menolongku sekitar sepuluh menit; hanya sampai di tempat parkir.”

Kucoba memikirkan lebih intens apa sebenarnya yang sedang terjadi, sebelum mulai menuruti keinginannya. Memang tidak sulit, tapi keningku dibuat berkerut bingung.

“Untuk apa....”

“Diam saja. Tidak usah mengobrol. Konsentrasiku bisa buyar. Jangan tegang. Santai saja ... aduh, kau malah meremas pundakku....”

Pintu keluar dari mal kami lewati. Ia mengangsurkan tubuh Afikri kemudian setelah mengecup pipinya yang serupa bakpao. Kulihat ia ngos-ngosan menggendongnya. Usia Afikri sudah empat tahun, tentu butuh kekuatan lebih untuk terus menggendongnya sejak dari dalam mal hingga lapangan parkir.

Pasti keenakan digendong, Afikri tidak mau pula turun dari gendonganku, membuatku tertatih. Dan makin tertatih ketika tangan cewek itu ikut pula bergelayut di bahuku.

“Kita harus tetap terlihat mesra,” bisiknya, terasa begitu dekat dari cuping telingaku. “Sandiwara ini baru berakhir bila aku sudah masuk ke dalam mobilku.”

Lapangan parkir mal sangat luas. Tubuhku sudah mau limbung sebelum ia menemukan mobilnya. Mencapai pintu Honda City-nya, barulah gelayut tangannya lepas dari bahuku.

“Ah, kita selamat ... eh, maksudku, aku selamat.” Embus napasnya sampai terdengar. Parasnya agak memerah, dan terlihat semakin cantik. “Terima kasih,” katanya lagi. “Anakmu ganteng. Mamanya pasti sangat cantik.”

“Kakakku memang sangat cantik,” sergahku buru-buru. “Kakak iparku pun tampan. Tidak aneh, kan, kalau rupa anaknya ikut mereka?”

“Heh, jadi ini ponakanmu?”

“Memangnya aku punya potongan bapak-bapak? Aku masih mahasiswa, lho,” protesku, entah kenapa merasa sangat bangga.

“Masalahnya, sekarang banyak anak muda sudah bapak-bapak.” Ia tertawa. Baru aku sadar, ia terlihat makin cantik bila tergelak begitu. “Mobilmu di bagian mana?” 

“Aku naik taksi,” jawabku. “Tidak akan kubiarkan kamu berlalu begitu saja, bila kamu tidak berterus terang: sandiwara apa sih, yang baru kita peragakan tadi?”

Ia sudah menyurukkan badannya ke dalam mobil. Memanjangkan tubuhnya sejenak ke kiri, dan pintu mobil di bagian itu terbuka. “Ayo, masuk.”

“Eh....”

“Tidak usah protes. Menunggu taksi lebih cepat kalau di jalan raya. Atau kau ingin lagi berjalan sejauh itu, sambil menggendong .... astaga, sampai lupa menanyakan siapa namanya si ganteng ini!”

Bukan soal menghindari berjalan ke jalan raya yang membuatku ikut masuk ke dalam mobilnya, tapi karena rasa penasaran. Aku merasa ia telah mempermainkanku, dengan mudahnya bilang yang ia peragakan tadi hanya sandiwara.

Kubiarkan saja dulu ia mulai mengemudikan mobilnya, bergerak pelan keluar dari tempat parkir. Kulihat kepalanya sedikit-sedikit ia tolehkan ke arah pintu mal, seakan mencari sesuatu. Saat sudah tiba di jalan raya, tanpa kudesak ia malah mulai memberi penjelasan.  
“Aku melakukannya karena terpaksa. Aku terdesak. Kau pikir, semudah itu aku melukai anak kecil....” Kepalanya menoleh ke pangkuanku, dan tersenyum. “Dia tertidur. Perasaan kau belum menyebutkan siapa namanya.”

“Afikri,” sebutku.  

“Maaf, Afikri,” tangan kirinya terlepas dari kemudi, lalu terulur menyentuh rambut Afikri. Yang disentuh tetap mendengkur halus dalam pangkuanku. “Sampai melibatkanmu dalam urusan orang dewasa.”

Wajahnya berubah serius. Dalam tatap lurus ke depan, ia berujar, “Kau tentu tidak tahu seperti apa rasanya diuber-uber istri orang. Dan pasti lebih tidak tahu lagi, seperti apa sakitnya dituduh perempuan simpanan.”

Kutatap profil wajahnya dari samping. Terlihat parasnya agak menegang. “Maksudmu....”

“Aku korban fitnah!” tegasnya. Bibir indahnya sampai ia gigit; aduh, melihatnya, entah kenapa aku agak berdebar. Nampak ia sedang amat kesal, atau malah ada amarah yang ia simpan.  “Ceritanya bermula dari acara kampus. Waktu itu, fakultas kami mengadakan festival musik alternatif. Karena aku kebagian seksi dana, maka alumni yang sudah sukses di pekerjaannya, aku datangi untuk memintanya menjadi donatur acara itu. Salah seorang di antaranya bernama Pak Kamal; yang belakangan malah menjadi masalah dalam hidupku.”

“Orangnya baik, ramah, dan sangat mengayomi,” lanjutnya lagi. “Entahlah, apakah aku yang dungu, atau Pak Kamal yang terlalu pandai membuaiku dengan kata-kata manisnya.”

Kupotong ceritanya, “Jadi, kalian selingkuh?”

“Tidak.” Mungkin kata ‘tidak’ belum begitu meyakinkan, sampai dia menambahinya dengan gelengan berulang-ulang. “Aku memang mulai kerap menerima ajakannya makan malam, bersama ke kafe, juga pernah pergi nonton. Semua itu tanpa melibatkan perasaan suka, kalau itu yang kau maksud. Namun, kau tahu, yang namanya berita perselingkuhan, cepat sekali penyebarannya. Sekali menyebar, bumbunya lebih banyak dari yang sebenarnya. Bahkan aku sampai diberitakan telah menjadi simpanan Pak Kamal. Sialnya, semua berita beserta bumbunya itu, sampai pula di telinga istri Pak Kamal; yang membuatnya mencari dan menguber-uberku.”

Aku tertegun mendengar ceritanya. “Kamu tidak memberi penjelasan pada istrinya itu?”

“Sangat sulit memberi penjelasan pada orang yang sedang cemburu, orang yang sedang marah, dan sepertinya malah kalap,” katanya lagi. “Melalui teman, aku cuma bisa mengirim cerita fiksi,” ia berjeda melepas tawa, “bahwa aku sudah punya keluarga sendiri. Kukatakan aku sudah punya suami dan seorang anak. Jadi tidak ada alasan bagi aku untuk menyeleweng dengan suami orang. Aku berpikir, lebih sulit membuat dia mau toleran memahami kalau dia cuma tahu aku mahasiswi semester lima. Dengan embel-embel sudah berkeluarga, aku berharap dia lebih yakin aku tidak mungkin mau main gila dengan suaminya.”

Mencerna kisahnya, sejenak membuatku mengernyit. “Yah ... akhirnya aku mulai paham sandiwaramu hari ini.”

Ia tertawa, tawa yang mulai kusuka mendengarnya. “Tadi, ketika masuk ke mal, aku melihat istri Pak Kamal. Dan dia pun melihatku. Kelihatan sekali dia berusaha mengejarku. Aku berbelok masuk ke toko buku itu, sebenarnya hanya untuk menghindarinya, bukan mau ikut cari buku. Dan ketika aku melihatmu meninggalkan Afikri sendirian, yang ... sungguh, sebelumnya aku kira dia anakmu, ide gila sandiwara itu muncul. Aku berpikir, bila istri Pak Kamal melihat kita begitu mesra sebagai suami-istri, apalagi dengan seorang anak, tentu akhirnya dia percaya cerita fiksi yang pernah diceritakan teman padanya.”

“Agaknya aku telah berbuat kesalahan besar,” renungku, membuat ia menoleh ke arahku. 

“Meninggalkan anak-anak sendirian, sampai dijadikan sandera oleh seorang cewek yang sedang panik dan ketakutan.”

Tawanya sampai terasa mengguncang kelembutan suspensi mobil.

“Jadi, ceritanya aku ini hanya jadi tumbal, ya?” pancingku.

“Kau berada di tempat yang benar pada waktu yang salah.”

Giliran aku yang mengguncang gerak mobil dengan bahak.

“Sekarang bagaimana?” tanyaku kemudian. “Apakah kita akan berputar-putar terus, atau kamu turunkan saja aku di sini untuk pindah naik taksi?”

“Kita makan dulu,” tawarnya.    

“Tidak usah,” elakku. “Aku khawatir, kakakku sudah panik menunggu anaknya.”

Ia menepikan mobilnya. “Kubelikan dulu ponakanmu burger. Memang kasihan juga, sih, kalau dia sampai dibangunkan sebelum sampai di rumah.”

Ada yang berubah pada sikapnya setelah mampir membeli burger. Ketika ia kembali duduk di belakang kemudi, terkesan mendadak ia jadi pendiam dan banyak merenung. Cerah parasnya bahkan terlihat agak luntur.

“Aku bingung. Bagaimana seandainya suatu saat aku bertemu lagi dengan istri Pak Kamal?” tanyanya. Rupanya ini yang memusingkannya.

“Gampang. Kau hubungi saja aku untuk bersandiwara lagi.” Spontan saja aku memberi saran. Buru-buru pula kuimbuhi, “Setelah menjalani sandiwara yang begitu menegangkan bagimu, dan membingungkan bagiku, terasa aneh kalau kita belum saling mengetahui nama.”

Sampai kemudian aku tunjukkan jalan kompleks ke rumahku; bahkan sampai ia meminggirkan mobilnya ketika telah berada di depan rumah, baru ia merespon, “Masalahnya, aku baru teringat ini hari Kamis. Malam Jum’at Kliwon pula.”

Aku tidak segera turun dari mobil. Kutatap dan kutanya, “Apa hubungannya?”

“Tabu bagi aku memberikan nama di malam Jum’at seperti ini.”

Aku tahu yang dikatakannya hanya canda. Bisa jadi untuk menguji keseriusanku ingin saling berbagi identitas. Makanya, ketika sudah turun dari mobil, kutagih sekali lagi, “Yakin, malam Jum’at seperti ini amat tabu menyebutkan nama dan alamatmu? Toh, rumahku sudah kau tahu. Tidak adil, dong....”

Ia sudah menjalankan mobilnya. Aku sampai melongo. Ia benar-benar tidak ingin meneruskan perkenalan di ‘tempat yang benar pada waktu yang salah’ ini. Sebelum berlalu, ia menunjuk-nunjuk ke kantong burger di tanganku. Entah apa maksudnya, yang jelas tak teguh kutepis jalar rasa kecewa.

Kugendong Afikri ke dalam rumah. Saat kantong burger itu kubuka, ada selembar tisu paling atas, yang hampir saja meremasnya kalau tidak cepat menyadari ada sesuatu di tisu itu. Di situ tertulis beberapa angka.

Kutepuk jidatku. Angka-angka itu pasti ditulisnya ketika ia berada di tempat penjual burger tadi. Dan melihat jumlah deretan angka itu, aku segera tahu itu nomor teleponnya.

Baiklah, akan kubuat malam Jum’at-nya penuh teror. Kalau ia tidak angkat, teleponnya akan kubuat berdering sepanjang malam.***

(Cerpen ini diterbitkan pertama kali di majalah:  ANITA Cemerlang, no. 11 / th.18 -  April  1997)




0 Response to "Sandiwara di Hari Kamis"

Posting Komentar