Tamu Terakhir

Oleh Pangerang P. Muda

Beserta tuan rumah, ketiga tamunya ikut tersentak, saat jam besar dari sudut ruang berkeloneng. Penanda separuh malam telah terlewati itu membuat mereka sontak gelisah. Gemanya yang memantul-mantul di sepanjang dinding, terasa sedang mempermainkan detak jantung mereka yang sudah demikian lemah oleh usia renta.

“Hh ... apa benar, dia akan datang?” seorang tamu melepas kesah.


“Dia tidak mungkin datang,” pendapat yang lain. “Saya yakin, dia sudah tiada. Setangguh apa tubuhnya, sampai kuat berpuluh tahun, menahan racun yang diminumnya itu?”

“Kalau begitu, kita bubar saja.”

“Tunggu satu jam lagi,” putus tuan rumah kepada tiga tamunya. “Saya yakin dia akan datang. Memang seakan saya cuma bermimpi; tapi sosoknya begitu nyata, amat jelas, berdiri di sisi kepala tempat tidur dan berbisik, ’Saya akan datang besok, selewat tengah malam. Saya ingin kalian menjelaskan soal racun itu. Setelah ini, saya akan melakukan perjalanan jauh, sangat jauh.’ Saya dibuat syok, dan merasa tidak kuat menanggung sendiri. Itulah, sampai kita berkumpul di sini.”

Semua berusaha memaksa benak uzur mereka memulung ingatan pada kejadian yang sudah lebih dari dua puluh tahun silam. Dalam senyap, bunyi tik-tak ayun bandul jam besar dari sudut ruang terasa makin memperberat hela-lepas napas mereka.

Senyap itu cukup lama, sebelum diusik desir kelepak mantel dari ambang yang menghubungkan ruang depan dengan ruang tengah, di mana pertemuan itu digelar. Tahu-tahu yang mereka tunggu itu sudah muncul dari sana, membuat mereka tergemap menatap kedatangannya.

“Ops ... jadi, mimpi saya nyata...,” tergagap tuan rumah menatapnya. “Kamu ... benar-benar datang!”

“Dan ... dengan cara apa kamu ke sini?” cetus yang lain.

“Kamu nampak ... eh, sangat kurus,” seakan kurang adab kalau tidak saling-sahut, yang lain menimpal. “Dan juga aneh. Lihat, lihat dirimu: pakai topi fedora, berkaca mata hitam, dengan penutup wajah pula. Atau, eh, kamu berangkat dari kampungmu, ketika siang masih sangat panas?”

“Bahkan kamu mengenakan sarung tangan!” seorang menyeru. “Jadi, tak seinci pun permukaan kulitmu, yang bisa disentuh angin!”

“Saya harus bilang, kagum pada penglihatanmu,” merasa kagetnya mulai mereda, giliran yang satunya berkomentar. “Dalam usia setua ini, matamu agaknya tidak serabun kami. Di gulita malam begini, kamu ke mana-mana dengan kaca mata gelap begitu? Sedang kami ... bahkan saat bermain kartu, kami lebih sering hanya meraba, mencari tepi kartu yang di penglihatan kami, sering menghilang.” Berjeda dengan gelak bersela batuk, sebelum meneruskan, “Bilangan usia kita sudah lewat angka tujuh puluh ... jangan lupa.”

Sebagai upaya berkelit dari tegang, mereka memaksa diri tergelak, walau disedak satu-dua batuk.

Tak juga menyahuti sapa dan omongan orang-orang di depannya, tamu yang terakhir datang itu menarik kursi lalu duduk. Yang lain merespon dengan rupa kaget; mereka merasa baru saja mendengar bunyi bekertak. Saat sudah duduk, begitu tenangnya, sampai tak menimbulkan gerit sedikit pun pada kursi yang menyanggah tubuhnya. Orang-orang di depannya menilai mungkin karena tubuh tamu itu memang kurus mering (lihat, mantel yang ia kenakan nampak demikian longgar, seakan masih bisa diganjal buntalan kain). Bahkan ketika pelayan datang, ia hanya geming, sampai pelayan berinisiatif menyodorkan saja secangkir kopi ke tepi meja di hadapannya.

“Tidak ada yang mau kamu katakan?” selidik tuan rumah. “Mm, baiklah, setelah lebih dua puluh tahun ... ah ya, hampir tiga puluh tahun, membiarkan cerita ini mengendap, seakan membentuk kerak di dasar panci. Sudah terlalu lama. Bahkan kita semua sudah serenta ini, sebentar lagi pikun, dan ... oh, malah mulai pula berbau tanah.”            

Entah apa yang didesiskan tamu terakhir itu, tak satu pun yang merasa jelas. Sepertinya ia barusan bereaksi atas kalimat ‘berbau tanah’ itu.

“Atau, bagaimana kalau sambil bermain kartu?” seorang memberi usul, ingin menyamankan suasana. “Usia setua kita, butuh bersantai. Saya rindu permainan kartu ala kita dulu: bermain berempat, tambah satu sebagai orang hukuman.”

“Masih bisa mengingat aturan mainnya?” seorang lainnya menyahut. “Saya sudah melupakan ... ah ya, aturannya seperti apa, sampai harus ada yang dihukum?”

“Yang mengalami kalah dua kali, diberi hukuman berdiri, dan menjadi juri dalam permainan berikutnya. Dan selama menjadi juri, dia tidak boleh duduk. Dia menggantikan terhukum yang ... mm, berdiri pada permainan babak sebelumnya. Sambil berdiri dan menjadi juri, dia menunggu giliran duduk, tentu setelah ada lagi yang mengalami dua kali kalah dalam dua set permainan. Nah, saat itulah si terhukum bisa duduk, dan bermain lagi, setelah yang kalah tadi menggantikannya.”

“Wah ... ingatanmu, masih tajam dan serinci itu?”

“Hanya sebatas mengingat aturan kita bermain kartu, hehe....”

Dua tiga gelak lepas tersendat-sendat.

Semua sudah bergantian bicara, kecuali tamu yang terakhir datang. Bahkan sekadar gumam pun tidak. Merasa memang ada yang aneh, yang lain mulai bergantian menatap lebih saksama. Entah hanya kesan saja, karena demikian ketat ia menutup seluruh permukaan kulitnya, mulai ada yang merasa melihatnya seperti menahan napas. Atau malah tidak bernapas. Tak terlihat sedikit pun ada bagian tubuhnya yang bisa mengedutkan mantel yang membungkusnya.

“Baiklah, kami jelaskan, agar soal ini tidak usah kita bawa ke lubang kubur masing-masing,” kata tuan rumah. Napasnya terhela berat, sebelum mengembus dalam kalimat terputus-putus, “Percayalah, kejadian jelang tiga puluh tahun silam itu ... ada orang-orang menyusup ke dapur, dan mau menyogok ... bahkan memaksa dan mengancam kami ... para koki yang ada di sana, untuk mencampurkan serbuk ke dalam gelas minuman, yang sedianya diantar ke meja calon wali kota. Katanya, itu ramuan keberuntungan untuk sang kandidat.”

“Sebelum kamu antar, gelas minuman itu kami pinggirkan dulu, menunggu sajian lain lengkap,” yang lain meneruskan. “Dan ... ufh, entah sehaus apa, datang-datang malah kamu yang menyosornya. Kamu menyangka itu minuman salah pesan dan sedang dikensel.”

“Di antara kami, memang ada yang curiga serbuk itu berbahaya,” seorang melepas lenguh. “Ternyata itu racun, yang bekerja sangat pelan. Siapa yang menginginkan kematian kandidat wali kota itu, kalau bukan seteru politiknya? Dan ... malah kamu yang apes!”

“Akhirnya kamu sakit. Keluargamu ngotot membawamu berobat ke kampung. Menurutnya, sakitmu lebih cocok diobati dengan ramuan tradisional. Kami tidak pernah lagi mendengar kabarmu setelah itu. Kami tidak berani menanyakan ... ah, bagaimanapun, kami takut, bisa-bisa kami semua masuk penjara. Makanya kami diam, memendam kejadian itu. Karena tidak juga ada kabarmu, kami lalu menganggap ini sudah selesai, meski tetap penasaran: apa kamu masih hidup, atau telah tiada.”

“Seiring waktu, satu demi satu kami pensiun dari pekerjaan. Koki dan pelayan rumah makan, butuh tenaga yang lebih kuat, tentu saja. Masa tua kami ... yah, sesekali berkumpul, saling menghibur, bermain kartu ... dan terus pula mengutuki diri atas kejadian itu. Sampai kemudian ... kamu mendatangiku, entah ini mimpi atau nyata; sosok dan suaramu begitu jelas berbisik.... Begitulah, sampai kita semua ada di sini.”

Tak tahan menahan decak, seorang menyeru, “Saya kagum pada daya tahan tubuhmu, yang mampu melawan daya bunuh serbuk racun itu! Kamu tidak mati; lihat, kamu benar-benar datang!"

“Itulah takdir baikmu ... oh, takdir baik kita semua; masih bisa berkumpul, sebelum kita semua nanti mati.”

Sisa malam sebentar lagi habis. Parak subuh mengirim dingin lewat jalusi jendela. Sambil terus bercakap, kecuali tamu terakhir itu, yang lain telah menandaskan isi gelas mereka. Isi gelas tamu terakhir itu masih penuh, seteguk pun belum tersesap. Aroma dan uap panasnya telah lesap.

“Atau ... kamu tidak percaya kami?” seorang protes. “Menganggap pula kami mau meracunmu, sampai kopi di gelasmu tidak kamu sentuh?”

Akhirnya tamu terakhir itu bereaksi, tangannya beringsut meraih gelas kopi di depannya. Gerak tangannya begitu kaku, sampai yang melihatnya menganggap itu serupa gerak tangan robot, dan mereka merasa mendengar lagi bunyi bekertak. Tamu terakhir itu minum dengan cara yang tidak biasa: ia menuang isi gelas langsung ke dalam lingkar katup kerah mantelnya.

Setelah itu ia berdiri. Mantelnya hanya dirapatkan, tidak dikatupkan kancing-kancingnya, sehingga ketika ia mengibas, mantelnya berkelepak terbuka. Tak juga ada kata yang terucap, ia berjalan menuju ambang yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang depan; dan di sana, tahu-tahu ia sudah tak terlihat lagi.

Beserta tuan rumah, ketiga tamu yang masih duduk tercengut, seakan baru saja melihat atraksi sulap. Napas mereka serasa telah berhenti. Setelah bisa menguasai diri, mereka lalu sibuk berdebat bahwa di balik mantel tamu terakhir itu, masing-masing melihat hanya ada kerangka belaka. ***
Parepare, Oktober/Desember 2019
(Cerpen ini dimuat pertama kali di koran:  TRIBUN Jabar, Minggu 12 April 2020) 










0 Response to "Tamu Terakhir"

Posting Komentar