Misteri Jejaka Berkumis

 Oleh Pangerang P. Muda

Suara musik yang memenuhi kabin mengerutkan kening Nurmaya. Irama bising dalam lagu itu membuat kepalanya mendadak berat. “Lagu apa ini?” tanyanya, tanpa memindahkan tatapan pada bentang jalan di depan.

“Lagunya Georgie Davis. Aku lupa judulnya. Kau suka?”

“Ouw, tidak.” Buru-buru Nurmaya menggeleng. “Serasa mau mabuk mendengarnya.”
Ekor matanya yang melirik rupa terpana cowok di sebelahnya, membuatnya ingin tertawa. Rasain! Sudah ditolak berkali-kali, masih juga mau mengantar.

“Masih banyak kaset yang lain,” tawar cowok itu. “Ada Gingerbread, Spandau Ballet, Chris de Burgh ... oh iya, ada juga Peabo Bryson....”

“Sudah, ah. Aku malah tambah pening mendengar nama-nama itu,” elak Nurmaya seraya menyandarkan kepala.
                
“Memang lagu apa yang kau suka?”              

“Kasidahan. Ada kasetnya?”
            
Nurmaya menduga wajah cowok di belakang kemudi itu pasti makin terpana. Hampir saja ia menoleh untuk membuktikan, tapi segera ia urungkan begitu berpikir cowok itu bisa jadi besar kepala bila ia terlalu sering menoleh menatapnya. 
              
Di luar, gerimis jatuh, menggoreskan arsiran tipis sejauh menatap. Nurmaya memperhatikan wiper yang bolak-balik menghapus kaca, seraya membatin inilah alasan kenapa ia tadi bersedia diantar ke sekolah oleh cowok itu. Selepas subuh langit terus kelam, dan ia tak ingin berbasah-basah sampai di sekolah. Ditambah lagi bujukan Mama, “Kamu tidak kasihan sama dia? Bela-belain dia datang jemput kamu, masa kamu tolak?”

Tak henti-henti Nurmaya membatin: Kenapa cowok model begini yang ditakdirkan naksir pada aku? Di matanya, tidak satu pun kelebihan yang dipunyai cowok itu: kelewat tenang, sangat serius, selera humor nyaris nol, dan ... yang paling gawat karena tidak berkumis. Padahal cowok keren di matanya bila di atas bibir cowok itu ada sebaris kumis tipis.    
Ia pikir papanya pasti telah keliru berpromosi. Anak sahabatnya ini katanya memiliki poin jauh di atas rata-rata cowok yang ada. Ternyata, menurut Nurmaya, poinnya malah di bawah rata-rata.
     
Masih jauh dari gerbang sekolahnya, Nurmaya sudah minta diturunkan. Soal gerimis ia bisa berteriak memanggil bocah pengojek payung. Itu masih lebih baik daripada teman-teman dekatnya nanti melihat cowok ini, lalu dirinya akan jadi obyek gosip.
***     
Remah kerupuk dari mulut Yena sebagian menghambur. “Kau pungut di mana cowok seganteng itu?” sergahnya, seraya terus mengunyah.

Akhirnya ketahuan juga ‘tukang antar’ itu. Habis, ayam-ayam tetangga belum juga pada turun dari teratak, cowok itu sudah nangkring di teras untuk menjemput; dan dengan terpaksa, didesak pula bujukan Mama, Nurmaya menurut. Akibatnya, teman-temannya tentu mulai sering melihat cowok itu menurunkan Nurmaya di depan gerbang sekolah. Dan hari ini, Yena yang mulai membahasnya! 
   
“Kau naksir?” balas Nurmaya. Potongan lontong pada ujung garpu di tanganya ia suapkan ke dalam mulut. “Nanti aku kenalkan. Kebetulan dia memang sedang cari pacar anak SMA.”
     
“Heh, jadi dia bukan pacarmu?” lotot Yena. 
            
“Amit-amit.” 
             
“Tapi dia begitu setia mengantarmu.”  
          
“Pak Amin juga setia mengantar-jemput papaku, sudah bertahun-tahun malah, tapi dia tetap bukan pacar papaku. Dia masih saja supir papaku.”

Diguncang tawa, dari mulut Yena makin banyak remah-remah kerupuk berhamburan. 
      
“Dia cuma tukang antar aku, kok,” sahut Nurmaya. 
            
“Kau bisa kualat, Maya.” Yena menggeleng-geleng. “Cowok seganteng itu kau sia-siakan. Jangan menyesal bila kelak kau kena karma: tidak laku-laku!”
***
”Bagaimana, Maya? Apa sudah cocok di hati?”
      
“Kurang pedas, Pa.” 
             
“Kurang pedas? Lha, apanya yang kurang pedas?”   
           
“Supnya. Mungkin Mama kasih cabe terlalu sedikit....” 
       
“He, aku tanya tentang Fadil!” Papa melipat koran yang baru dibacanya. 
              
“Oo, supir Maya itu?” Nurmaya menyembunyikan tawa di balik sendok sup. “Lumayan, Pa. Asal jangan terlalu rajin mengantar Maya. Soalnya, banyak teman sekelasku naksir dia.” 
     
“Makanya, kamu terima saja keinginan keluarganya.”  
        
Lidah Nurmaya berdecap. Sisa rasa sup di lidahnya mendadak seperti mengeluarkan rasa pedas yang tajam.  
      
“Keinginan apa, Pa?” Nurmaya merasakan cuping telinganya berdiri serupa radar, menunggu penjelasan Papa. 
                
“Sebelum balik ke Bandung, dia ingin membelikanmu cincin.” 
       
Papa mengatakannya dengan nada biasa. Tapi bagi Nurmaya, terdengar serupa bunyi petasan. Dia tahu ke mana arah pembicaraan papanya.   
         
Ia mencoba mengalihkan, “Cincin yang Mama belikan saja jarang saya pakai. Ini kok malah orang lain yang mau belikan....”      

“Keluarga Fadil ingin kalian bertunangan dulu,” Mama ikut memperjelas, yang sebenarnya sudah cukup jelas bagi Nurmaya.
***
Bola kristal di langit-langit beranda menebar cahaya redup ke arah keduanya. Nurmaya menyilangkan kakinya yang dibalut jeans, dengan tatap yang terus bermain-main pada tanaman di halaman. Tidak sekali pun ia menoleh ke tamu yang duduk di sebelah meja di sampingnya.

“Yena bercerita banyak tentang kamu.” 
       
Barulah Nurmaya menoleh, dengan gerak cepat. Mungkin terbaca rona kaget di wajahnya, buru-buru Fadil menjelaskan, “Yena itu sepupuku.” 
              
Sontak membayang ekspresi kesakitan di wajah Yena; Nurmaya langsung meniatkan besok anak itu harus dihadiahi cubitan yang lebih sadis dari biasanya. Pantas, pikir Nurmaya, anak itu tak henti memuji-muji cowok ini!
            
Akhirnya, merasa kalah, ia menyahut, “Dia cerita apa sama kamu?”  
          
“Kata dia, di kelasmu kamu paling pintar.”    
          
“Di raporku memang tertulis peringkat satu,” bilang Nurmaya, sambil tertawa. “Tapi itu tidak bisa dijamin paling pintar. Bisa saja aku nyontek ketika ujian. Atau pas bikin tugas, dibikinkan teman. Nah, apa lagi yang dia bilang?” 
                
Fadil ikut tertawa. “Katanya kamu tidak suka sama aku karena aku tidak berkumis.”

Jadi bukan cuma cubitan, dengkul Yena perlu pula dicucuk ujung sepatu! Merasa kepalang basah, sekalian saja Nurmaya menantang, “Aku memang suka sama cowok yang berkumis.”
***    
“Dasar tukang kecap!” sergah Nurmaya begitu melihat Yena.  
      
Tak satu pun hukuman yang sudah diniatkan berhasil ditimpakan pada Yena. Anak itu telah berlari menghindar, sebelum cubit di pinggangnya dan cucuk sepatu di dengkulnya berhasil Yena lepas.     
     
Setelah keadaan normal; setelah keduanya duduk manis di bangku mereka yang bersisian, Nurmaya berbisik, “Kamu membuatku malu di depan sepupumu itu. Masa sampai soal kumis kamu cerita?”

Yena terkikik tertahan-tahan. “Jadi, kamu punya rasa malu?”  
        
“Malu itu sebagian dari iman, bego.”
             
“Makanya, kamu bisa menyesal bila sampai menolak cintanya.”     
 
“Aku tidak mood punya pacar kurang meriah begitu.”  
       
“Kurang meriah apanya?” Kikik Yena keterusan.    

“Cowok tanpa kumis, kalau diibaratkan rujak, sudah tidak pakai mangga muda kurang pedas lagi.” 
        
Riuh tawa keduanya baru teredam saat guru jam pertama sudah memasuki kelas. 
Waktu mau pulang, Yena memberikan surat beramplop biru muda kepada Nurmaya, disertai pengantar, “Titipan dari Fadil. Kemarin dia sudah kembali ke Bandung. Aku ikut mengantar ke bandara, dan di sana dia titip surat ini.”

Sepekan Nurmaya berusaha menghindari cowok itu, ternyata malah berbuah surat.
***
Maya, saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah berada di Bandung. Cita-citaku untuk menjadi ahli konstruksi sedang kuperjuangkan. Seperti juga memperjuangkan rasa sukaku padamu, rasa cintaku, yang ternyata lebih berat dari mengejar cita-citaku itu.       
Jangan menganggap kita dijodohkan orang tua kita. Tidak, Maya. Aku sendiri yang meminta pada ayahku, agar kita resmi bertunangan, dengan begitu kita bisa lebih konsekuen saling menjaga. Maya, begitu melihatmu pertama kali, aku langsung merasa....        
 
Nurmaya hanya membaca sampai di situ, sebelum melipat dan menyelipkan surat itu di sembarang tempat. Ia berbaring dan berpikir Fadil sudah pergi, jadi saatnya untuk tidak mengingatnya lagi.
***
Hari terus bergulir seperti biasanya dan tahu-tahu sudah tiga bulan berlalu, dan Nurmaya dipaksa kembali memikirkan cowok itu. Soalnya ia menerima kiriman foto dari cowok itu dalam ukuran kartu pos, dengan tampilan yang sama sekali lain. Cowok itu sudah berkumis!

Sampai Nurmaya pangling: cowok itu ternyata amat menawan setelah berkumis! Foto itu disertai pula sepucuk surat. Ada saja yang diceritakannya: dari keindahan kota Bandung, tugas-tugas kuliah yang tak habis-habis, ikut kerja proyek dengan dosennya sekalian menerapkan teori yang selama ini didapat; dan yang membuatnya tersenyum geli, karena Fadil juga menyinggung upayanya menumbuhkan kumis. Dan di penutup surat, Fadil menulis semua itu dia lakukan demi rasa cintanya pada Nurmaya. Nurmaya langsung berpikir, ini bagian yang paling gempar bila diceritakan pada Yena.
***
Satu semester berlalu, mobil Fadil kembali terparkir di depan pagar. Sebelumnya, bila jip berwarna merah cerah itu datang, Nurmaya tidak begitu peduli. Ia tetap saja dengan aktivitasnya di dalam rumah, atau di dalam kamarnya. Ia baru beranjak ke ruang tamu, atau ke beranda, kalau Mama atau Papa memanggilnya menemui Fadil, si pemilik mobil.    
        
Begitu tahu sore ini Fadil mau datang, Nurmaya langsung berjaga-jaga di beranda. Ia penasaran, ingin melihat bagaimana tampilan Fadil dengan kumis: memang semenawan di foto yang dikirimnya itukah?  
              
Fadil turun dari mobilnya, melangkah lebih riang dibanding sebelum-sebelumnya, bahkan sempat-sempatnya bersiul-siul kecil. Di beranda, Nurmaya sudah menunggu, terus menatap Fadil sampai kemudian mencapai tempatnya berdiri.

Begitu jarak yang mengantarai mereka tersisa dua meter, Nurmaya mengejap-ngejapkan mata dan menyergah, “Mana kumismu?” 
                
Sontak Fadil menyentuh bagian atas bibirnya. Tidak ada kumis di situ. Bersih. 
     
Sejenak kelabakan, sebelum sebuah pikiran melintas cepat di benaknya, “Sudah kucukur.” Fadil berusaha tenang, dan hanya dia yang tahu betapa dadanya berdentum-dentum keras. “Dengan dicukur, maka kelak tumbuhnya akan lebih lebat,” seraya berdalih begitu, dia menunduk dan melihat benda itu ada di dalam saku kemejanya. Karena tadi terburu-buru, sampai dia lupa memasangnya. Dia mendengus kesal: Kumis palsu sialan! ***

Cerpen ini diterbitkan pertama kali di majalah:  ANITA Cemerlang no: 269 / Juni 1988.

0 Response to "Misteri Jejaka Berkumis"

Posting Komentar