Sekretaris Baru


Oleh Pangerang P. Muda
Seorang direktur mengganti sekretaris memang tidak aneh, hal yang biasa; tetapi begitu kejadiannya berulang sampai tiga kali hanya dalam kurun waktu tiga tahun, membuat Kinan mulai terusik. Hendak mengorek penjelasan, ia menelepon orang di kantor yang cukup ia kenal, dan mendapat jawaban kurang memuaskan, “Mungkin Pak Direktur sudah tidak cocok, Bu.” Agak mangkel, ia menghubungi Mbak Mia, kepala HRD. “Saya juga jadi serba salah, Bu,” jawaban Mbak Mia sedikit lebih memperjelas. “Pergantian itu selalu atas permintaan Pak Redya, ya mana bisa saya tolak. Paling saya hanya bisa memberi usul.”

Kinan merasa berhak ikut memikirkan penggantian sekretaris yang berulang-ulang itu, karena Pak Direktur itu adalah suaminya sendiri dan perusahaan itu adalah perusahaan warisan almarhum papanya. Sebelum melahirkan anak-anaknya, ia pun bekerja di sana. Ia berhenti bekerja atas permintaan suaminya, dengan alasan agar bisa fokus membesarkan ketiga anaknya; dan Kinan menganggap itu sebuah pengorbanan.

Ia tak bisa lagi menepis dugaan bahwa penggantian sekretaris sesering itu memang tidak wajar. Pasti ada motif tertentu di baliknya. Akhirnya, demi mengelakkan rusuh pikiran yang mengganggu, pada pagi berikutnya ketika suaminya hendak ke kantor, Kinan memancing, “Dengar-dengar, Intan mau diganti ya, Pa?”

Menepis jengah, sejenak tangan Redyawan menunda meraih roti bakar di atas meja, agak ragu berujar, “Bukan Intan, tapi Tania.” Istrinya belum bereaksi, Redya buru-buru menambahi, “Itu rotasi biasa, Ma. Tania saya usul ke divisi lain. Sebagai penyegaran.”

Berarti sudah keempat kalinya! Memeram rasa terkejut, Kinan mencetus, “Penyegaran untuk Tania, atau penyegaran untuk kamu, Pa?”

Mencoba tenang, Redya berdalih, “Penyegaran untuk organisasi perusahaan, tentunya, Ma. Kok penyegaran untuk saya.” Seusai tertawa hambar, Redya melepas jengahnya, “Eh, tumben tanya-tanya masalah sekretaris?”

“Karena merasa ini tidak wajar,” respons Kinan. “Sekretaris kok selalu diganti. Perasaan, Tania belum lama menggantikan Intan, eh, kok mau diganti lagi.”

“Sekretaris diganti kok dibilang tidak wajar,” Redya merespons balik. “Sekretaris harus senantiasa enerjik, cekatan, dan ada saat-saat tertentu dia mesti bekerja full-time. Saya tidak bisa didampingi sekretaris yang lamban dan tidak responsif.” Tanpa sadar Redya melepas kancing kemejanya yang paling atas, seakan aliran napasnya sedikit tercekik dan mendadak butuh oksigen lebih banyak. “Jadi, begitu kualifikasi persyaratan itu tidak bisa lagi dia penuhi, tentu wajar saja kalau dia diganti.”

“Apakah Tania sudah tidak memenuhi kualifikasi itu?” pancing Kinan. Ia masih bertahan, merasa belum saatnya melancarkan serangan frontal.

“Dia kan baru saja menikah,” kilah Redya.

“Ouw....” Seakan megap-megap, Kinan sampai mengatur napas mendengar jawaban suaminya. Menenangkan diri, ia berujar serupa kesah, “Jadi, sekretaris yang sudah menikah, tidak berkualifikasi lagi?”

Untung Redya sudah menelan habis sekerat roti sarapannya. Kalau tidak, pasti akan sulit melewati tenggorokannya demi mendengar pertanyaan istrinya itu. Sembari memain-mainkan jemari di tepi meja, dia kemudian berkata, “Sudah saya jelaskan, Ma, seperti apa kriteria sekretaris yang saya butuhkan.”

“Cekatan enerjik dan seterusnya dan semacamnya begitu?” ejek Kinan.

“Yang sudah menikah, apalagi kalau sudah hamil, tentu gerakannya akan jadi lamban dan tidak responsif lagi. Dan urusan-urusan keluarganya, apalagi bila sudah punya bayi, bagaimana mungkin bisa membuatnya bekerja full-time, misalnya pada saat diperlukan?”

“Oo, persis alasan yang Papa ajukan ketika meminta saya lebih fokus mengurus anak-anak, mengurus keluarga, lalu meminta saya berhenti bekerja, begitu?”

Suaminya terbungkam. Kinan pun tak ingin berbantah lagi. Ia memilih diam dan coba merancang cara memberi pelajaran pada suaminya.
***
Tanpa suaminya tahu, Kinan menghubungi Mbak Mia. Ia bilang kepada kepala HRD di perusahaannya itu, kali ini ia yang akan mengatur penggantian sekretaris Pak Direktur dengan orang yang akan ia tentukan sendiri.

“Tapi, kalau Pak Redya....”

“Jangan khawatir,” sela Kinan, sekaligus memberi jaminan dan membesarkan hati Mbak Mia. “Untuk penggantian sekretaris Pak Redya kali ini, Mbak Mia tidak usah ikut susah-susah. Kecakapan sekretaris baru ini, saya yang akan pertanggungjawabkan. Kalau Pak Redya tidak berkenan, saya pula yang akan menghadapi. Mbak Mia tenang-tenang saja.”

Kinan kemudian membeberkan rencananya. Di speaker ponsel, tawa Mbak Mia sampai meledak-ledak.
***
Hari pertama dengan sekretaris baru selalu membuat Redyawan bersemangat. Pagi-pagi sekali dia masuk kantor. Seperti sebelum-sebelumnya, dia sendiri yang akan men-training sekretaris barunya, menjelaskan aturan serta tugas yang sebenarnya sudah diketahui sekretaris itu sebelum bertugas.

Sekretaris baru itu duduk membelakangi meja. Kursinya diputar menghadap ke dinding. Sampai Redya mengucapkan “Selamat pagi,” si sekretaris masih pada posisi duduknya.

“Selamat pagi,” Redya mengulang, seraya menekan rasa tersinggungnya atas sikap kurang sopan sekretaris barunya.

Cukup lama baru kursi sekretaris itu berputar ke posisi yang seharusnya. Sekretaris itu tidak berdiri, tidak juga memberi sambutan sopan atau anggukan seperti yang diperagakan sekretaris-sekretaris Redya sebelumnya. Apalagi ini bertugas di hari pertama. Sekretaris itu hanya tersenyum; bagi Redya, itu lebih cocok disebut seringai.

“Selamat pagi, Pak Redya,” sekretaris itu menyahut, seringainya melebar. “Maaf, Pak, saya terlalu tegang; soalnya ini hari pertama saya harus mendampingi Pak Redya, yang dikenal amat teliti, jelimet, menuntut kecakapan kerja tingkat tinggi, dan sangat perhatian kepada sekretarisnya bahkan katanya sampai ke penampilan dan pakaian yang dikenakan. Ah, saya khawatir, penampilan saya tidak sesuai dengan standar yang Bapak tetapkan ... eh, maksud saya, tidak sesuai selera Bapak.”

Mulut sekretaris itu mulai serupa semprotan slang. Tak juga memberi kesempatan pada Redya bahkan untuk sekadar mengatur rasa kaget, sekretaris baru itu menyembur lagi, “Untuk Pak Redya ketahui, sekretaris baru yang Bapak setujui kemarin, tidak jadi diangkat dan saya yang gantikan. Oya, saya sudah berkeluarga, Pak, dengan tiga anak yang masih kecil-kecil. Pantas ya bodi saya tidak sesintal sekretaris yang masih lajang?”

“Eh ... kamu sedang bercanda...,” tergagap Redyawan menatap sekretaris barunya.

“Oh, tidak, Pak, saya sangat serius,” sela sekretaris baru itu dengan lebar seringai tak susut. “Anak sulung saya dan yang tengah masih SD, Pak. Yang bungsu bahkan baru belajar berjalan. Saya sudah putuskan akan menggaji seorang babysitter, agar saya bisa lebih fokus ke pekerjaan ini, mendampingi Pak Redya menjalankan tugas sehari-hari. Nah, apa itu dibilang cuma bercanda?”

“Dan ...,” sekretaris baru itu berubah kenes, “sebagai sekretaris Bapak, saya tidak hanya bisa membantu memperlancar pekerjaan Bapak, tapi juga bisa lebih dari itu. Misalnya Bapak sedang capek, saya bersedia memijit. Saya bahkan bersedia Bapak ajak ke luar kota, atau ke mana saja. Saya yakin tidak ada yang keberatan, apalagi menggunjingkan. Saya bertekad akan menjadi sekretaris Pak Redya selama-selamanya; tidak akan ada yang bisa menggantikan saya. Nah, bagaimana menurut Bapak?”

Sejak sekretaris baru itu memutar kursinya, dan Redya melihat wajahnya, dia sebenarnya sudah linglung. Ketika sekretaris baru itu berujar lagi, “Eh, hampir lupa memperkenalkan diri. Nama saya Kinan, lengkapnya: Nyonya Kinanti Astari Redyawan,” penglihatan Redya benar-benar mulai berputar. Dia sampai bertelekan pada tepi sandaran kursinya.

Kinan, sekretaris baru itu, buru-buru mendekat, memegang lengan Redya dan berkata, “Kalau Pak Redya sakit, hari ini bisa istirahat. Pulanglah, saya bisa mengerjakan tugas-tugas Bapak. Saya tahu persis keadaan perusahaan ini, kok. Bahkan saya mau Bapak tinggal saja di rumah. Jadi, kita gantian: saya yang kembali bekerja, dan Pak Redya di rumah saja menjaga anak-anak. Oke?” ***

Cerpen ini dimuat pertama kali di :  Fajar, Minggu 5 Juli 2020


0 Response to "Sekretaris Baru"

Posting Komentar